Kamis, 19 November 2015

Cinta dimata sartre.

Jean paul sartre(1905-1980) merupakan salah satu filosof, psikolog, sastrawan asal perancis yang terkenal melalui pemikirannya tentang eksitensi manusia atau dalam bahasa filsafat disebut eksistensialisme. Ia merupakan salah satu filosof yang produktif, hal ini terlihat dari karya-karyanya yang sangat besar sekali jumlah. Salah satu yang terkenal ialah being and nothingness.
  Pemikirannya yang mentuhankan kebebasan, membuat pembahasan tentang cinta menjadi pembahasan yang cukup menarik jika kita sandingkan dengan konsepsi umum tentang cinta. Sebagaimana diketahui, konsepsi cinta pada umumnya selalu berkaitan dengan kasih sayang, pengorbanan, bahkan seksualitas.

  Manusia adalah makhluk berkesadaran yang hidup ditengah-tengah dunia dengan orang lain. Dalam hubungannya dengan sesama makhluk yang berkesadaran, manusia mengenal cinta. Perasaan yang membuat hidup penuh warna. Kekuatan yang mengubah seseorang. Namun, bagaimanakah sartre memandang cinta ?
Sartre sendiri sadar bahwa dalam kehidupan sehari-hari, manusia itu mengenal cinta. Namun ia menarik suatu pandangan, "cinta adalah penipuan diri sendiri, dan konflik.
Menurutnya, cinta hanyalah siasat licik untuk mendominasi kebebasan orang lain secara halus. Seseorang yang dalam proses mencinta, ingin memiliki, menguasai, mengontrol dunia orang yang dicintai. Selalu ada pihak yang dominan. Ini terjadi karena keinginan untuk terus dicintai. Keinginannya ini membuatnya harus menjadi obyek, menyerahkan dirinya dikuasai oleh orang yang dicinta. Dalam bahasa sartre kondisi ini "terjebak dalam dunia orang lain". Akan tetapi, sewaktu-waktu sang obyek bisa menjadikan dirinya sebagai subyek, karena dia adalah for-itself (konsekuensi dari kebebasan mutlak adalah dia untuk dirinya sendiri). Karena itu timbul rasa tidak aman, rasa malu, kesepian;dan semua itu menimbulkan situasi konflik. Kata sartre, "dalam dua orang yang sedang jatuh cinta, berhadapan dua "ada"  yang berkesadaran , keduanya terpisah oleh nothingness" .
Pandangan sartre tentang konflik dapat disamakan tentang perjuangan kelas dalam filsafat marx, akan tetapi konflik dalam marx adalah melaju secara dialektik. Dimana dua kutub yang berkonflik sehingga mencapai kesatuan melalui sintesa dan ini penekanannya pada massa rakyat. Sedangkan pada sartre, dua kutub yang berkonflik tersebut tidak pernah mencapai suatu sintesa, karena dilandasi oleh egoisme yang luar biasa. Perbedaan lainnya ialah alienasi. Bagi sartre cinta menghasilkan alienasi, karena ia merasa asing dengan tampilnya orang lain, disini alienasi dipandang inheren dengan individu tersebut. Sedangkan pada marx, manusia asing karena melepaskan hasil produksinya.
Cinta ideal menurut sartre adalah tidak mungkin, kalau tampilnya orang lain itu mengancam eksistensinya. Mana mungkin ada cinta, jika konflik merupakan makna dasar hubungan antar manusia. Hal ini selaras dengan perkataannya yang terkenal "hell is other people".
Hubungan seksual sendiri yang menurut freud dalam teori libidonya bahwa tindakan manusia itu didorong dalam rangka memenuhi hajat seksual, sehingga merupakan determinasi, dianggap sartre sebagai penipuan diri. Sartre memandang hubungan seksual antara pria dan wanita bukan sekedar menginginkan ketubuhan semata, bukan pula tubuh sebagai benda. Melainkan menginginkan ketubuhan dengan mengidentifikasikan diri terhadap lawan jenisnya. Ketika tubuh dipandang sebagai obyek, terjadi konflik saling mengobyektivitir satu sama lain, satu diantaranya, eksistensinya akan didominasi oleh yang mengatasinya. Nafsu selalu menginginkan obyek dan obyek nafsu seksual ialah ketubuhan yang bersituasi dalam dunia. Bukan tubuh sebagai benda, karena benda tidak bersituasi.
Kepuasan dalam tindakan seksual kata sartre adalah merampas eksistensi kebebasan manusia seketika, dibawah pandangan orang yang menguasainya. Betapapun kenikmatan sebagai tujuan, kenikmatan juga adalah sebagai kematian dari kenikmatan itu sendiri ketika kenikmatan itu tercapai dalam ejakulasi.  Dan inilah yang dinamakan lingkaran setan oleh sartre. Namun ini tidak akan terjadi ketika salah satu dari keduanya tidak dapat mengatasi konflik saling mengobyektivitir.
  Pemikirannya ini ia pertahankan hingga akhir hayatnya. Dimana ia tidak menikah seumur hidupnya.  Namun bukan berarti ia tidak pernah berhubungan dengan lawan jenis. Ketika masih menjadi mahasiswa penyelidik di institut perancis, berlin dan di universitas freiburg, ia bertemu dan menjalin hubungan intim dengan simon de beauvoir dan menjadi pendamping selama hidupnya.  Karena penuh kesan, hubungan intim dengan sartre ditulis simon dalam bukunya yang berjudul "memories of dutiful"(1959) dan "the prime of life(1960).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar